Monday, 6 February 2012

baca cerpen di

cerpen cerpen dan cerpen








Potret Itu, Gelas Itu, Pakaian Itu

Oleh: Budi Darma

Sungguh menakjubkan, bahwa ketika hari sudah petang dan lampu jalanan mulai dinyalakan, perempuan itu membuka jendela dan memandang keluar. Alis perempuan itu hitam tebal, melindungi matanya, dan mata itu tajam dan sebentar bergerak-gerak. Ketika melihat laki-laki bertubuh kurus jangkung berdiri di pinggir jalan, mata perempuan itu bergerak-gerak cepat ke kanan dan ke kiri.

Laki-laki bertubuh kurus jangkung memang sudah menantikan saat-saat seperti ini, kemudian meloncat ke pekarangan melalui pagar tanaman, pagar tanaman yang sebetulnya tidak begitu tinggi.

Beberapa saat kemudian mereka berdua sudah berada di dalam kamar. Dengan tangan gemetar, perempuan itu menutup jendela dengan hati-hati, dengan sebelumnya menyelidik cepat-cepat apakah perbuatannya terintai oleh orang lain. Laki-laki bertubuh kurus jangkung itu juga gemetar.

Lampu di dalam kamar sudah menyala, tapi sangat samar. Dengan tidak memandang ke arah laki-laki itu, perempuan itu menuding ke arah dinding sebelah kanan. Di bawah potret ada sebuah gelas, terletak di se­buah rak buku kecil. Dan di dalam rak terdapat beberapa buku, dan judul buku-buku itu tidak mung­kin dibaca karena sinar lampu sangat samar.

Laki-laki itu mengangguk mengerti. Dia men­de­kati dinding di sebelah kanan. Matanya berganti-ganti melihat potret laki-laki itu, kemudian gelas, dan ke­mu­­dian beberapa buku. Tubuhnya agak mem­bong­kok manakala dia melihat-lihat buku-buku di dalam rak.

Ketika perempuan itu menjawil tangan kirinya, perhatian laki-laki bertubuh kurus jangkung itu masih terlarut ke dalam potret laki-laki di dinding. Agak ter­kejut juga dia ketika dia merasa dijawil. Dan ta­hulah dia sekarang, bahwa perempuan itu sedang me­nuding-nuding ke arah sebuah tempat tidur kecil.

Ada sebuah meja kecil dengan bunga segar di dekat tempat tidur itu. Di dekat tempat tidur ada pula se­bu­ah kursi. Dan yang mengherankan laki-laki itu ada­lah, mengapa di dekat tempat tidur tidak ada potret se­orang la­ki-laki, misalnya saja potret laki-laki yang ter­gan­tung di dinding sebelah kiri. Tapi laki-laki itu ti­dak bertanya, karena perempuan itu sudah menje­laskan:

"Dia tidak mau potretnya dipasang di sini."

Belum sempat bertanya apa-apa, laki-laki itu su­dah ditarik oleh perempuan itu untuk mendekati sebuah almari. Dan ketika perempuan itu membuka almari, terasalah bau enak menebar di dalam kamar remang-remang itu. Dan laki-laki itu tidak terkejut melihat, beberapa pakaian laki-laki di dalam almari.

Laki-laki itu terus diam ketika perempuan itu meng­udal-udal beberapa pakaian dari dalam almari. Meskipun demikian, laki-laki itu agak terkejut, ketika melihat pakaian di sebelah dalam almari itu ternyata penuh cipratan darah. Dan segeralah perempuan itu mengguyurkan minyak wangi dengan khidmat dan hormat ke pakaian itu.

Setelah perempuan itu menutup almari dan laki-laki itu duduk dekat tempat-tidur, perempuan itu berjalan ke arah tombol listrik, dan mematikan lampu bercahaya lemah itu.

"Apakah yang tadi kau lihat pada potret yang tergantung di dinding itu?" tanya perempuan itu.

"Saya tidak pernah melihat laki-laki seagung itu. Sungguh agung dia. Jengkal demi jengkal wajahnya menunjukkan keagungan luar biasa."

"Apa lagi?"

"Apa lagi? Ya, apa lagi? Tentu saja saya menga­gum­i dia. Matanya sungguh menakjubkan. Alangkah se­nangnya kau menjadi istrinya."

"Apa lagi?"

"Apa lagi? Ya, apa lagi? Saya yakin dia laki-laki gagah, kendatipun nampaknya tubuhnya hanyalah kurus jangkung. Dia pasti laki-laki ramah."

"Apa lagi?"

"Apa lagi? Ya, apa lagi? Saya kagum pada raut wa­jahnya. Dia pasti mempunyai wibawa besar, wi­ba­wa tinggi. Saya mengaguminya."

"Hanya itu?"

Laki-laki itu kehabisan akal dan kehabisan kata. Maka berbicaralah dia asal berbicara, tentunya tanpa mengetahui apa yang dikatakannya:

"Tentu saja tidak. Saya heran mengapa laki-laki semulia ini bisa mati terganyang kanker. Heran. Saya heran mengapa takdir tidak memberinya umur pan­jang, untuk memberikan kesempatan kepadanya guna lebih memuliakan cita-citanya dalam mengangkat har­kat, martabat, dan derajat sesamanya."

"Siapa yang mengatakan dia dihabisi kanker?"

Laki-laki itu diam. Dia ingat, pada suatu malam dia melihat seorang anak perempuan kecil memotret di­rinya. Kalau tidak keliru, dia dipotret sekitar tiga bulan lalu, di Balai Wartawan ketika diadakan per­te­muan antara beberapa pedagang dengan wartawan. Begitu cepat anak perempuan itu memotretnya, ke­mu­dian berjalan bergegas dan menyelinap di antara sekian banyak orang. Akhirnya laki-laki itu tahu, bahwa anak perempuan itu datang bersama seorang perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam. Ketika laki-laki itu berusaha menemui anak perem­puan itu, pertemuan dinyatakan bubar. Dan karena dia harus menemui beberapa temannya, perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam serta anak pe­rem­puan itu terlepas dari tangannya.

"Laki-laki itulah yang saya cintai," kata perem­puan itu. "Karena itulah potretnya saya pasang di situ. Dan karena itu pulalah gelas peninggalannya sa­ya taruh di bawah potretnya. Dia selalu minum dari gelas itu setiap kali dia datang ke sini. Bekas-be­kas bibirnya masih ada di situ. Dan setiap kali saya merindukannya, selalu saya usap-usap mulut gelas itu dengan pinggiran mulut saya. Sering mulut gelas itu saya lumat-lumat dengan bibir saya seperti pada waktu saya melumat-lumat bibirnya. Dan sering juga mulut gelas itu saya gosok-gosokkan ke payudara sa­ya, seperti dia sendiri dahulu sering mengagumi pa­yu­­dara saya. Dan buku-buku dalam rak itu adalah buku-buku kegemarannya. Setiap kali dia ke sini selalu dia membuka-buka halaman-halaman buku itu. Begitu gemar dia membuka-bukanya, segemar dia membuka-buka lembar demi lembar pakaian yang saya kenakan."

Laki-laki itu diam. Dia tidak tahu mengapa se­ko­nyong-konyong siang tadi dia menemukan sebuah su­rat tergeletak di meja kerjanya di kantor. Ketika dia menanyakan kepada sekretarisnya, beberapa ba­wah­annya, dan juga beberapa pesuruh siapa ge­rang­an yang menaruhkan surat itu di atas mejanya, tidak seorang pun tahu. Laki- laki itu hanya tahu bah­wa sudah beberapa hari ini ada seorang laki-laki men­cu­rigakan secara berkala mengitari kantornya. Setiap kali laki-laki itu akan masuk kantor, laki-laki men­cu­ri­gakan selalu menghadangnya dekat pintu, ke­mu­dian mengawasinya dengan pandangan tidak enak. Dan setiap laki-laki itu akan meninggalkan kantor, laki-laki mencurigakan selalu menghadangnya di de­kat pintu dengan menggumamkan suara tidak jelas. Ke­mudian dia sering melihat laki-laki mencurigakan berseliweran tidak jauh dari jendela kaca yang me­mi­sahkan kantornya dengan kebun kacang. Dan se­tiap kali pandangan mata mereka bertemu, laki-laki men­curigakan selalu memandanginya dengan sikap tertegun.

Surat itulah, yang mungkin telah disampaikan oleh laki-laki mencurigakan itu, yang telah meng­an­tar­kannya ke rumah perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam.

"Dari sekian banyak laki-laki yang saya ke­nal, dialah laki-laki yang saya cintai," kata perempuan itu lagi. Dan kemudian pe­rempuan itu bercerita mengenai gelas itu lagi, mengenai buku-buku itu lagi, dan akhir­nya mengenai payudaranya.

"Rupanya laki-laki lain yang pernah saya kenal tidak begitu menyukai payudara saya. Hanya dialah yang sering membisikkan kata-kata aneh ke payudara saya segera setelah dia menjelek-jelekkan sekian banyak pe­rem­­puan lain. Senang sekali dia memban­ding-bandingkan payudara saya dengan payu­da­ra mereka, dan tentu saja tubuh saya de­ngan tubuh mereka. Dia bercerita menge­nai perem­puan-perempuan dan dengan sangat terbuka, dengan nada sangat melecehkan me­reka, dan tentu saja de­ngan nada mengagung-agung­kan saya. Betul yang kau ka­ta­kan tadi, dia laki-laki me­ng­agumkan, sangat me­nga­gum­kan. Bagi saya, mungkin dia jauh lebih agung dan jauh lebih meng­a­gum­kan dibanding dengan Nabi Yusuf. Ingat, Nabi Yusuf tidak suka merayu, semen­ta­ra dia suka merayu, ya­itu merayu sekian banyak pe­­­rem­puan, sampai akhirnya dia jatuh di hadapan sa­­­ya, menjilati kaki sa­ya. Setiap kali didekati pe­rem­puan, Nabi Yu­suf selalu mengingatkan perempuan yang men­de­katinya dan juga dirinya sendiri akan masa depan ma­nusia, apabila manusia telah mati kelak. Ketika seorang perempuan berusaha merayu­nya dan me­nga­ta­­kan bahwa rambut Nabi Yusuf sangat indah, ber­ka­talah Nabi Yusuf, 'Rambut inilah yang pertama kali akan berhamburan dari tubuh saya setelah nyawa saya meloncat dari tubuh saya.' Dan ketika seorang perem­puan merayunya lagi, berkatalah Nabi Yusuf, 'Kelak tanah akan melumatkan wajah saya.'

Laki-laki yang potretnya di sana itu sangat ber­be­da. Dia selalu melihat ke depan, tanpa mau me­nger­ti bahwa pada suatu saat maut akan menjemputnya. Dia selalu membisikkan kata-kata indah mengenai kegunaan dan kenikmatan hidup. Tanpa per­nah mengatakannya, dia selalu berpikir un­tuk memanfaatkan detik demi detik untuk berjasa, memberi kenikmatan bagi orang lain, dan juga bagi di­ri­nya sendiri. Sering dia bercerita menge­nai mimpi-mimpi indah, seperti misalnya memperluas usaha-usa­ha dagangannya kalau perlu dengan menak­luk­kan musuh-musuhnya, kemudian membangun ru­mah-rumah yatim piatu, mendirikan sekolah-seko­lah, membantu rumah sakit-rumah sakit, dan entah apa ­lagi. Dia sangat suka membantu orang-orang papa dan orang-orang yang ingin maju, tapi sekaligus sa­ngat membenci orang-orang malas dan tidak mem­pu­nyai otak. Dalam keadaan lelah dia men­datangi saya, untuk menikmati tubuh saya dan sekaligus meng­­­­­­­­hidangkan kenikmatan bagi saya. Dia datang untuk mencari gairah hidup, agar dia menjadi lebih segar, lebih bersemangat, dan lebih mampu beribadah dalam bentuk kerja keras. Setiap inci tubuhnya ada­lah pertanda keagungannya, demikian pula setiap de­ngan nafasnya."

"Dan manakah anak perempuan yang memotret dahulu?"

"Ciumlah tangan saya sebelum saya menjawab pertanyaanmu."

Belum selesai dia mencium tangan kanan perem­puan itu, perempuan itu sudah menyodorkan tangan kirinya.

"Ulangilah pertanyaanmu tadi."

"Manakah anak perempuan yang memotret da­hulu?"

"Anak perempuan? Maaf, saya tidak tahu ke arah mana pembicaraanmu. Andaikata kau bermaksud un­tuk menanyakan apakah saya mempunyai anak pe­rem­puan, saya dapat menjawab bahwa saya tidak mem­punyai anak perempuan. Ketahuilah anak pe­rem­­puan suka rewel, demikianlah kata laki-laki yang saya cintai. Dan andaikata saya mempunyai anak, saya tidak akan mengijinkannya memotret."

"Mengapa?"

"Menurut laki-laki yang saya cintai itu, memotret hanyalah menghabiskan uang. Setiap orang harus ber­hemat. Dan mungkin karena itu pulalah dia tidak su­ka anak perempuan, sebab dia sering mengatakan bah­wa anak perempuan hanya memboroskan saja. Dia juga tidak suka potret, karena potret hanyalah menghabiskan uang."

"Benarkah laki-laki seagung itu mempunyai jalan pikiran demikian?"

"Memang saya sering menemui kesulitan dalam me­ngorek apa yang sebenarnya berkelebat di dalam nuraninya. Sering kata-katanya melompat demikian saja dari puncak otaknya, sementara kelebat hati nuraninya yang sesungguhnya tidak terucapkannya. Saya sendiri yakin dia sama sekali tidak pelit. Dia pas­ti menyimpan rahasia mengapa dia tidak menyukai anak perempuan. Dan saya pernah berhasil mengo­rek­­nya, ketika dia mengigau dalam tidurnya. Mes­ki­pun demikian, kata-katanya hanyalah pendek dan ti­dak jelas, sehingga sulit bagi saya untuk menaf­sir­kan­­nya. Tapi saya tahu, dia berhati agung.

Bagi dia, laki-laki tidak bisa bebas dari perem­pu­an, dan perempuan pada dasarnya adalah beban. Eva sengaja diciptakan Tuhan untuk menemani Adam, tapi sekaligus untuk melancarkan wahyu-wahyu se­tan. Istri paman Nabi Muhammad, Ummu Jamil na­ma­nya, justru akan mencelakakan keponakan suami­nya sendiri. Siapa yang akan mencelakakan Nabi Nuh, tidak lain dan tidak bukan adalah istrinya sendiri. Ne­geri Sodom juga hancur lebur, setelah istri Nabi Luth, nabi yang dipercaya oleh Tuhan untuk me­ne­gak­kan ketaqwaan di negeri itu, mengkhianati sua­mi­nya habis-habisan. Adalah pula Siti Qodariah, se­orang wanita, yang berusaha mencelakakan Nabi Yu­suf setelah usahanya untuk menikmati keindahan tubuh Nabi Yusuf gagal. Belasan tahun perang di Tro­ya adalah juga perang untuk memperebutkan perem­­puan. Laki-laki sudah ditakdirkan untuk tidak mam­pu mengalahkan nafsunya sendiri, dan perempuan ter­lanjur sudah diciptakan untuk memperbudak nafsu laki-laki."

Belum sempat laki-laki itu bertanya, perempuan itu menyuruhnya berjongkok di lantai dan menjilati kakinya.

"Setiap laki-laki harus menjilati kaki saya," ka­ta­nya.

Se­telah selesai menjilati seluruh bagian tubuh pe­rem­puan itu dan setelah selesai mengucapkan selamat ting­gal, laki-laki itu keluar lewat pintu, dan pintu itu se­gera ditutup dari dalam, kemudian laki-laki itu me­lon­cat keluar melalui pagar tanaman.

Laki-laki itu merasa bahwa malam telah larut be­nar. Ketika memasuki sebuah gang, dia berjalan agak sempoyongan. Bau wangi tubuh perempuan yang ba­ru saja ditinggalkannya masih melekat pada seluruh bagian tubuhnya sendiri. Dan keringat dari celah-ce­lah kulitnya terasa begitu asing, karena yang ter­cium olehnya adalah keringat perempuan itu.

Heran benar laki-laki itu, mengapa tadi dia tidak menanyakan siapa nama perempuan itu. Hapal-hapal ingat kalau tidak salah perempuan itu menamakan di­rinya Maemunnah. Atau mungkin Robinggah. Mung­­­­­­­­­kin juga dia Jurbbah. Bukankah dia Immlah? Ya, pokoknya pakai "ah", entah itu Siffiah, entah Monissah, atau Markammah.

Dia ingat, perempuan itu tidak pernah menyebut-nyebut nama laki-laki yang potretnya tergantung di dinding. Dan laki-laki yang potretnya tergantung di dinding itu bukanlah suami perempuan itu. Laki-laki itu hanya kadang-kadang datang ke sana untuk me­­nyibuk-nyibukkan dirinya. Ini sudah berlangsung selama beberapa tahun, ujar perempuan itu.

Ketika laki-laki itu menanyakan siapa yang mem­bu­at potret di dinding itu, perempuan itu hanya men­ce­ritakan bahwa pada suatu hari dalam sebuah mu­sim kemarau panjang ada seorang anak perempuan me­ngan­tarkan bingkisan besar ke rumahnya, dan ternyata bingkisan itu adalah potret itu. Anak pe­rem­puan itu sama sekali tidak pernah datang ke­ sa­na lagi.

Laki-laki itu terus berjalan tergontai-gontai. Ke­ti­ka seekor kucing hitam melintas di gang dan me­mo­tong jalannya, dia tidak menahan langkahnya. Kucing itu pun tidak perduli bahwa dia sedang ber­pa­pasan dengan seorang laki-laki. Tetapi, ketika ku-cing itu melompat ke tempat agak tinggi dan menyo­rotkan matanya ke arah laki-laki itu, laki-laki itu me­rasa keringatnya keluar lebih deras. Dan keringat itu rasanya bukan keringatnya sendiri, karena baunya sama benar dengan bau keringat perempuan tadi.

Sementara rasa hausnya memuncak sampai ke ubun-ubun kerongkongannya, laki-laki itu terus ber­jalan. Kata perempuan tadi, setiap kali laki-laki itu min­ta minum karena merasa haus. Dan setiap kali akan pulang, pasti laki-laki itu minta minum lagi un­tuk meninggalkan bekas bibir pada mulut gelas. Dan gelas itu masih tergeletak di rak buku.

Tiba-tiba laki-laki itu merasa salah jalan. Ketika masih berada di jalan besar tadi, seharusnya dia ber­jalan terus, kemudian membelok ke kiri. Ternyata tadi dia membelok ke kanan sebelum waktunya. Dia membelok ke kiri. Setelah tertegun sejenak, dia me­mu­­tuskan untuk kembali menyusuri gang, dan untuk kemudian memasuki jalan yang benar.

Laki-laki itu masih berdiri tertegun ketika seekor kucing hitam kecil meloncat dari dinding di atas sana, lalu lari cepat memintasi jalannya. Ternyata kucing itu lari ke sebuah lorong di sebelah kanan. Dan ketika laki-laki itu melihat ke arah lorong, nampaklah olehnya sebuah lampu ke­cil, menerangi sesuatu yang tidak asing baginya, yaitu sumur. Mengapa dia ti­dak ke sana seben­tar, me­­­­­­­­nim­­­­ba, dan mi­num?

"Maka berjalanlah dia agar cepat menuju ke su­mur. Namun, sebelum dia benar-benar dekat de­­­­­ngan sumur, seorang la­ki-laki menegor dia.

"Mengapa malam-ma­­­­lam begini kamu ber­ada di sini?"

Dengan cepat dia me­nge­nal siapa laki-laki itu: kedua matanya bulat se­per­ti mata burung hantu, lehernya kurus panjang dengan buah kuldi men­dong­kol dan selalu naik tu­run, sementara urat-urat tangannya mem­beng­kak me­nutupi ke­dua ta­ngan­nya, dan tangan-tangan itu be­nar-benar ku­rus. Dialah laki-laki mencurigakan, dan dialah yang selalu me­nga­wasinya di kantor.

"Mengapa malam-malam begini kamu berada di sini?" tanya laki-laki mencurigakan sekali lagi.

Dia tidak dapat menjawab. Matanya menangkap buah kuldi laki-laki mencurigakan, dan ingatannya melompat ke payudara perempuan tadi. Benar-benar payudara perempuan tadi memberinya kenikmatan, dan benar-benar buah kuldi laki-laki mencurigakan itu memuakkan. Dia seolah-olah melihat Adam, pada waktu mata Adam mendelik karena buah terlarang yang dimakannya menyangkut di kerongkongannya. Tiba-tiba dia merasa sedang berhadapan dengan iblis. Adam di hadapannya adalah iblis, demikian juga perempuan tadi. Payudara perempuan tadi, tidak lain adalah buah terlarang yang terlanjur tersangkut, ke­mu­­dian menawarkan kenikmatan dan sekaligus tin­dak-tindak maksiat.

Rasa haus makin menggorok kerongkongannya. Dan ketika dia mengelus-elus kerongkongannya sen­diri, sadarlah dia bahwa buah kuldinya sangat be­sar, naik turun, dan sangat menjijikkan. Tiba-tiba dia sadar, bahwa dia sendiri dan perempuan tadi tidak lain dan tidak bukan adalah sepasang iblis juga. Dan dia merasa benci terhadap perempuan itu, karena tadi dia tidak diijinkannya minum, karena, katanya, dia tidak mempunyai gelas lain kecuali gelas di atas rak buku itu. Dan gelas itu, katanya lebih lanjut, hanyalah untuk menghidupkan kenang-kenangan.

Ketika laki-laki mencurigakan menegurnya lagi, dia terus berjalan ke arah sumur. Dan tepat ketika dia memegang tali tim­ba, laki-laki mencuri­ga­kan berkata:

"Minumlah sepuas-pu­­­as­mu, kalau perlu sam­­­­­­pai meletus perut­mu, karena sumur ini ada­­­­lah milik saya."

Dia melemparkan tim­­ba ke dalam sumur, dan ternyata sumur sa­ngat dalam. Ketika laki-laki mencurigakan men­ce­ritakan perihal dirinya sendiri, dia sama sekali ti­dak mendengarkannya. Perlahan-lahan dan hati-hati sekali dia mengulur ta­li ke bawah, sampai akhir­nya timba me­nyen­tuh air. Kemudian perla­han-lahan pula dia me­narik tali timba ke atas.

Laki-laki men­curi­ga­kan terus bercerita. Beberapa waktu lalu dia membeli kebun kacang tidak jauh dari kantor laki-laki ber­tu­buh kurus jangkung. Setelah melalui beberapa per­ke­lahian, barulah pemilik lama mau menyerahkan ke­bun kacang itu meskipun uang­nya telah lama di­te­rima sebelumnya. Belum lama laki-laki men­cu­rig­akan itu berhasil memiliki tanah milik­nya sendiri, ter­dengar berita bahwa kebun ka­cang itu akan di­caplok oleh laki-laki bertubuh kurus jang­kung untuk per­luas­an kantornya. Laki-laki men­curi­gakan ini belum mau percaya, dan karena itu ber­usa­ha mencari pen­je­lasan. Setiap kali dia mendekati kantor untuk men­cari kabar, selalu dia diolok-olok oleh orang-orang kantor itu.

Selesailah sudah laki-laki bertubuh kurus jang­kung minum. Tubuhnya merasa agak segar, namun tidak satu kata pun dari laki-laki mencurigakan ini yang masuk ke telinganya. Dia hanya berpikir, alang­kah enaknya seandainya tadi dia diijinkan minum da­ri gelas di atas rak buku, sebab, setiap kali perem­pu­­an itu merindukannya, pastilah bekas bibirnya akan di­ji­lat-jilat.

Masih sempat dia me­lihat laki-laki men­cu­rigakan, sebelum dia melangkah untuk kem­bali ke gang tadi. Dia me­rasa benar-benar ji­jik melihat laki-laki men­­curigakan. Mata la­ki-laki mencurigakan itu, bulat dan besar, me­nyem­bunyikan keli­cikan tanpa tara. Leher laki-laki mencurigakan itu, yaitu leher yang pan­­­­jang, meng­ingat­kannya pada leher bu­rung onta yang dira­cun­nya sewaktu dia ber­jalan-jalan di kebun binatang. Dan buah kul­di itu, bagaikan bu­ah kuldinya sendiri, adalah pertanda dosa Adam, yaitu dosa yang me­nurunkan siksa ba­gi manusia entah sam­pai kapan.

Ingin sekali dia ce­pat-cepat mening­gal­kan laki-laki mencuri­ga­kan. Namun, belum sem­pat dia melangkahkan kakinya lebih lanjut, laki-laki mencurigakan berlari-lari kecil ke arahnya, ke­mu­dian menghadangnya. Rasa jijiknya makin me­le­dak. Sam­bil berusaha keras mengibaskan rasa jijiknya, dia meng­ambil jalan ke samping kiri.

Dia mempercepat langkah, tapi terpaksa terhenti ketika sekonyong-konyong terasa punggungnya pa­tah. Ketika laki-laki mencurigakan berdiri di ha­dap­an­­nya lagi, dia terpaksa membongkokkan tubuhnya ke depan, karena terasa olehnya bahwa tubuhnya akan patah menjadi dua bagian. Ketika akhirnya re­bah ke tanah, masih sempat dia membalik tubuhnya, dan melihat ke arah bulan. Memang bulan masih tetap di sana, di langit sana. Laki-laki mencurigakan mem­bong­kok, sementara dia merasa makin jijik. Dia ingin muntah. Memang akhirnya dia muntah, tapi yang dimuntahkannya adalah darah.

Dengan tenang, laki-laki mencurigakan meng­gu­mam:

"Ketahuilah, masalah kebun kacang hanyalah ma­sa­lah permukaan. Perkelahian dengan pemilik lama mengenai kebun kacang juga bukan masalah berat, Memang saya sering berkelahi, tapi perkelahian-per­ke­lahian itu, sekali lagi, bukan apa-apa bagi saya. Bagi musuh-musuh saya segala macam perkelahian sebenarnya juga bukan apa-apa. Saya hanya menik­ma­ti satu hal, yaitu kenyataan bahwa saya me­nyim­pan jiwa iblis. Dan saya bangga akan jiwa iblis saya. Kamu pun sebenarnya iblis. Ketahuilah, sesama iblis belum tentu bisa bersekutu. Sesama iblis bisa saling mengganyang. Sudah semenjak pertama kali saya me­lihat kamu, saya yakin bahwa iblis di dalam ji­wamu jauh lebih kuat daripada jiwa iblis kebang­gaan saya. Benar-benar saya merasa takut terhadap kamu. Dan se­tiap kali merasa takut, pasti saya ber­tin­dak terlebih dahulu, tentu saja dengan persiapan cermat agar saya menang."

Dia menggumam dengan kesadaran penuh, bahwa laki-laki itu sudah tidak mungkin lagi mendengarnya. Meskipun demikian, laki-laki itu masih sempat mengingat beberapa kata-kata perempuan tadi:

"Laki-laki yang saya cintai itu tidak mati karena kanker seperti yang sering dipergunjingkan. Dia mati dibunuh dekat sumur tidak berapa jauh dari sini. Saya selalu menyimpan pakaiannya yang berlumuran darah."

Bulan tetap berputar-putar di atas sana.***

(Dimuat dalam Horison, Juli 1990)


http://www.geocities.ws/horison_literary_magazine/cerpen.html

No comments: